KATA
PENGANTAR
Puji syukur kami penjatkan kehadirat Allah SWT,
yang atas rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang
berjudul “Psikosomatik”. Penulisan makalah ini merupakan salah satu tugas yang diberikan dalam
mata kuliah Keseehatan
Mental di Universitas Negeri Semarang.
Dalam Penulisan makalah ini kami merasa masih
banyak kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan
yang kami miliki. Untuk itu, kritik dan saran dari semua pihak sangat kami
harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada
pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini, khususnya kepada
Dosen kami yang telah memberikan tugas dan petunjuk kepada kami, sehingga kami
dapat menyelesaikan tugas ini.
Semarang, 23 April
2017
Penyusun
DAFTAR
ISI
HALAMAN SAMPUL ............................................................................................ i
KATA
PENGANTAR ............................................................................................. ii
DAFTAR
ISI ....................................................................................................... iii
BAB
I PENDAHULUAN
A. Latar
belakang ................................................................................................. 1
B. Rumusan
Masalah ........................................................................................... 1
C. Tujuan
......................................................................................................... .... 1
BAB
II PEMBAHASAN
A. Fenomena
Gangguan Psikosomatik ................................................................ 2
B. Kaitan
antara Badan dan Jiwa ........................................................................ 3
C. Sejarah
Munculnya Istilah Psikosomatik ......................................................... 3
D. Teori-teori
Psikosomatik .................................................................................. 5
E. Kaitan
Gangguan Psikosomatik dan Kepribadian .......................................... 6
F. Prevalensi
Berbagai Gangguan Psikosomatik dan Upaya
Penanganannya ................................................................................................ 8
BAB
III PENUTUP
A.
Kesimpulan
................................................................................................. .... 10
B.
Saran
................................................................................................................ 10
DAFTAR
PUSTAKA .......................................................................................... .... 11
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kegagalan dalam melakukan penyesuaian terhadap
berbagai persoalan bukan hanya menimbulkan gangguan psikis atau mental saja.
Gejala gagal dalam melakukan penyesuaian bisa muncul dalam bentuk
gangguan-gangguan yang bersifat kebutuhan/fisik karena pada dasarnya antara
badan dan jiwa merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan, sehingga gangguan
terhadap salah satu di antaranya menimbulkan gangguan pada lainnya. Inilah yang
kemudian sering disebut dengan gangguan psikosomatik.
Penyakit-penyakit psikosomatik merupakan
gangguan kesehatan yang bukan saja umum dijumpai dalam populasi, tapi sering
menimbulkan kesalahpahaman di bidang medis. Medikasi sering memberi kesembuhan
secara cepat, namun bukan berarti persoalannya menjadi beres karena seringkali
penyakit tersebut kambuh kembali berulang-ulang. Ini berkaitan karena sumbernya
bukan dari tubuh yang sakit, melainkan pada persoalan mental yang belum
terselesaikan.
Penemuan-penemuan terbaru berkaitan dengan
kerja otak semakin menambah keyakinan antara hubungan yang erat antara fisik
dan mental. Oleh karena itu penyembuhan penyakit-penyakit psikosomotik perlu
melibatkan interaksi fisik mental. Kerja sama bidang kedokteran dan psikologi
perlu mulai dikembangkan untuk mendapatkan strategi penyembuhan yang ideal.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
fenomena gangguan psikosomatik?
2. Apa
kaitan antara badan dan jiwa?
3. Bagaimana
sejarah munculnya istilah psikosoomatik?
4. Bagaimana
teori-teori psikosomatik?
5. Bagaimana
kaitan gangguan psikosomatik dengan kepribadian?
6. Bagaimana
prevensi berbagai gangguan psikosomatik dan upaya penanganannya?
C. Tujuan
1. mengetahui
fenomena gangguan psikosomatik.
2. Mengetahui
kaitan antara badan dan jiwa.
3. Mengetahui
sejarah munculnya istilah psikosoomatik.
4. Mengetahui
teori-teori psikosomatik.
5. Mengetahui
kaitan gangguan psikosomatik dengan kepribadian.
6. Mengetahui
prevensi berbagai gangguan psikosomatik dan upaya penanganannya.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Fenomena Gangguan Psikosomatik
Krisis moneter yang melanda Indonesia
menimbulkan dampak yang luas. Salah satu dampak yang muncul berkaitan dengan
krisis ini adalah meningkatnya jumlah penderita gangguan jiwa. Sejumlah rumah
sakit jiwa melaporkan peningkatan pasien yang datang berobat, baik pasien yang
datang untuk rawat inap maupun yang hanya rawat jalan. Bahkan beberapa rumah
sakit jiwa melaporkan, kapasitas tempat yang bersedia saat ini tidak mencukupi
lagi.
Salah satu bentuk gangguan jiwa adalah apa
yamng sering disebut sebagai gangguan psikosomatik. Gangguan psikosomatik
merupakan bentuk gangguan jiwa yang agak unik, karena muncul dalam bentuk
keluhan-keluhan sakit secara fisik sehingga seringkali mendapatkan perlakuan
yang kurang tepat. Menurut Yusuf (tnp.
thn.), pada proses berkembangan terjadinya gangguan psikosomatis, krisis
moneter berfungsi sebagai stresor spikososial, sedangkan gangguan psikosomatik
berfungsi sebagai reaksi individu terhadap stresor tersebut.
Sebelum krisis berlangsung, dalam suatu survei
yang diselenggarakan oleh Direktorat Kesehatan Jiwa Departemen Kesehatan,
didapatkan bahwa sekitar 30% pengunjung dari salah satu Puskesmas di Jakarta
adalah kasus-kasus dengan gejala-gejala somatik psikogenik, yang didiagnosis
oleh dokter ahli jiwa yang terlibat dalam survei tersebut sebagai neurosis
depresi, neurosis cemas, gangguan situasional sementara, kegagalan penyesuaian
sosial, dan gangguan psikofisologik. Permasalahan yang terjadi, kasus-kasus
semacam itu masih kurang dapat dikenali dan dideteksi oleh dokter umum di
Puskesmas sehingga tata laksana terapi penyembuhannya menjadi tidak terarah
(Maslim, R., 1997).
Temuan Direktorat Kesehatan Jiwa Departemen
Kesehatan tersebut serupa dengan penelitian-penelitian yang dilakukan diluar
negeri. Penelitian-penelitian tersebut menyebutkan bahwa gangguan psikosomatik
menyebabkan sejumlah besar penderitaan dan ketidalmampuan serta masalah
kesehatan masyarakat yang besar.
Disebutkan, tendensi untuk mengalami dan mengkomunikasikan tekanan-tekanan
psikologis ke dalam bentuk simtom-simtom fisik dan untuk mencari bantuan medis
merupakan fenomena klinis yang meluas, yang mungkin meliputi lebih dari 30-40%
dari pasien medis (Fava, 1992). Bahkan penelitian lainnya berani menyatakan
bahwa antara ½ -2/3 pasien medis menunjukkan gejala-gejala yang sebagian maupun
keseluruhannya berasal dari sebab psikologis (Lazarus, 1976).
Hasil-hasil penelitian tersebut di atas
mendukung pendapat yang dikemukakan oleh Supangat (1992) yang menyatakan bahwa
penyakit manusia abad dua puluh lebih banyak diwarnai dengan gejala-gejala
psikosomatik yag menimbulkan berbagai macam penyakit. Hal itu merupakan akibat
adanya ketidakseimbangan lahiriah dan batiniah yang menimbulkan stres,
frustrasi, ketegangan, kecemasan, dan lain-lainnya.
Sayangnya, belum pernah terdengar hasil-hasil
penelitian yang berkaitan dengan gangguan psikosomatik di masa krisis ini,
sekalipun banyak ahli yang berpendapat bahwa prevalensi gangguan psikosomatik
tentu meningkat sejalan dengan meningkatnya stres yang diakibatkan oleh krisis
yang tengah berlangsung.
B.
Kaitan
Antara Badan Dan Jiwa
Secara singkat dapat dijelaskan bahwa antara
badan dan jiwa terdapat hubungan yang sangat erat. Ini berlainan dengan
pandangan dualisme yang menyatakan bahwa antara badan dan jiwa terpisah dan
dapat dibedakan. Berdasarkan penelitian, otak ternyata merupakan pusat
integrasi dari badan dan jiwa ini.
Otak manusia selain merupakan pusat pikir (otak
besar) yang merupakan pusat kesadaran, juga merupakan pusat emosi (otak kecil
maupun batang otak). Jadi sebenarnya antara pikiran dan emosi terdapat jalinan
yang sangat erat karena semuanya terjadi di otak. Berdasarkan anatomi seperti
inilah, maka muncul istilah kecerdasan emosi, yaitu bagaimana orang bisa
mengelola emosinya sehingga berguna untuk meningkatkan kualitas hidup.
Emosi pada giliranya akan memengaruhi kerja
sistem syaraf, hormonal maupun fungsi otak lainnya. Orang yang cerdas secara
emosi akan mampu mengintegrasikan kerja seluruh bagian otaknya sehingga mampu
berfingsi secara optimal. Misalnya, ketika menghadapi suatu persoalan, otak
kecil dan batang otak akan bereaksi sehingga memacu pengeluaran hormon yang ada
di otak. Hormon ini pada gilirannya akan mempengaruhi kerja kelenjar hormon
lain yang terdapat di ginjal. Bagia dalam kelenjar adrenal memproduksi hormon
adrenalin yang menyebabkan reaksi emosi takut dan berbagai emosi lainnya dalam
jangka waktu yang agak lama. Apalagi karena hormon-hormon tersebut diserap oleh
tubuh dengan perlahan-lahan. Hormon-hormon ini pada gilirannya akan
mempengaruhi reaksi syaraf otonom dalam jangka waktu yang agak lama juga.
Inilah sebabnya mengapa orang yang mengalami stres atau emosi yang tinggi dalam
jangka waktu yang lama akhirnya mudah menjadi sakit. Ini disebabkan fungsi
organ tubuh yang tidak seimbang lagi (mengalami ketegangan dalam jangka waktu
yang lama) sehingga mengganggu metabolisme maupun daya tahan tubuh. Otak besar
(cerebal cortex) berfungsi melakukan
evaluasi terhadap derajad pentingnya situasi tersebut, sehingga menentukan juga
tingkat emosi yang terjadi. Selain itu, otak besar turut menentukan antisipasi
terhadap peristiwa yang sama pada masa yang akan datang maupun memilih
alternatif untuk melakukan koping yterhadap peristiwa yang dialami.
Kecerdasan emosi pada dasrnya memantu individu
untuk menemukan cara-cara yang konstruktif untuk menguatkan hubungan/jalur
antara otak besar (yang berfungsi sebagai pusat berfikir) dengan pusat emosi
sehingga individu tidak hanya menggunakan otak kecil maupun batang otak (pusat
emosi) untuk melakukan reaksi terhadap peristiwa-peristiwa yang dihadapi.
C.
Sejarah
Munculnya Istilah Psikosomatik
Teori-teori dan sudut pandang mengenai
psikosomatik sangat beragam. Menggunakan istilah umum dari berbagai teori
psikosomatik tersebut, psikosomatik dapat didefinisikan sebagai tidak ada
penyakit somatis (kebutuhan) tanpa didahului oleh anteseden-antesenden
emosional dan atau sosial. Sebaliknya, tidak ada penyakit-penyakit psikis tanpa
memunculkan simtim-simtom somatik. Jelasnya, istilah “reaksi-reaksi
psikosomatik” berarti terjadinya reaksi tubuh yang muncul dalam organ-organ
yang berbeda sebagai konsekuensi dari reaksi emosi dan situasi-situasi yang
penuh tekanan seperti gangguan perut, asma bronkial, dan lainnya. Sebaliknya,
istilah “reaksi-reaksi somato psikis” berarti keadaan psikis ditentukan oleh
simtom-simtom penyakit somatik. Sebagai contoh, kemurungan dan kesedihan yang
mendalam dihubungkan dengan penyakit kanker. Menurut model psikosomatik,
penyakit berkembang melalui saling mempengaruhi antara faktor-faktor pisikal
dan mental secara terus menerus yang saling memperkuat satu sama lain, melalui
suatu jaringan timbal balik kompleks. Penyembuhan dari penyakit diasumsikan
akan terjadi dengan cara yang sama (Tamm, 1993). Secara sigkat, Kellner (1994)
mengungkapkan bahwa istilah psikosomatik menunjukkan hubungan antara juwa dan
badan. Gangguan psikosomatik didefinisikan sebagai suatu gangguan atau penyakit
fisik dimana psoses psikologis memainkan peranan penting, sedikitnya pada
beberapa pasien dengan sindroma ini.
Menurut Tamm (1993), sebelum istilah
psikosomatik muncul, yang berkembang dengan sangat baik adalah istilah
biomedis. Perkembangan ini terjadi terutama di negara-negara barat. Pengobatan
biomedis ini berakar pada pengobatan tradisional Yunani yang secara mendalam
dihubungkan dengan filsafat Yunani. Pola pikir filsafati pada era Yunani kuno
adalah abstrak, sistematis, dan dilakukan dengan cara-cara yang rasional dan
logis. Konsepsi mengenai dunia dimengerti oleh para filsuf pada umumnya sebagai
dualistik. Manusia dipisahkan antara jiwa dan badan. Ini nampak jelas sekali
lewat pandangan-pandangan yang dikemukakan oleh Plato dan Aristoteles. Cara
berpikir yang seperti ini mempengaruhi dunia Barat bahkan sampai beberapa abad
kemudian, misalnya pandangan yang dikemukakan oleh Descartes. Banyak penyakit
yang dapat ditangani dan disembuhkan oleh model biomedis ini, seperti infeksi
dan penyakit-pentakit lain yang disebabkan oleh virus misalnya. Itu menjadi
salah satu alasan mengapa model biomedis dapat berkembang dengan baik. Tetapi
karena model ini mempunyai ciri reduksionistik, banyak fenomena yang
berhubungan dengan kesehatan dan penyakit mendapatkan pemahaman yang keliru.
Sebagai contoh adalah perasaan sakit (kesakitan) dan nyeri. Kesakitan tidak
dapat hanya direduksi sebagai tanda-tanda peringatann karena tubuh sedang
melakukan reaksi dalam rangka mempertahankan diri atau melindungi diri dari
serangan penyakit. Fakta menunjukkan bhwa sebenarnya ada beberapa aspek yang
kompleks yang brhubungan dengan kesakitan, seperti aspek-aspek biologis,
psikologis, fenomenologis dan sosial. Model biomedis sebagai titik pandang pada
akhirnya tidak dapat memuaskan lagi meskipun telah mengalami kemajuan yang sangat
pesat.
Jurang antara aspek-aspek biologis
dan psikologis dari keadaan sakit masih tetap berlanjut sampai suatu pendekatan
baru muncul dan mulai dikembangkan pada awal abad kedua puluh. Sigmund Freud,
Ivan Pavlov dan WB Cannon berjasa besar dalam hal ini. penjelasan Freud
mengenai ketidaksadaran, penelitian Pavlov mengenai reflek yang terkondisi dan
perhatian Cannon mengenai reaksi menyerang dan menghindar menyediakan
konsep-konsep psikologis yang penting dan merangsang tubuhnya pendekatan
psikosomatik dalam bidang perawatan kesehatan. Gerakan psikosomatik dimulai di
Jerman dan Australia pada tahun 1920-an dan kemudian banyak orang-orang Eropa
seperti Fransz Aleksander yang berimigrasi ke Amerika Serikat membawa serta
minat oranng Eropa terhadap gangguan-gangguan psikosomatik (Corsini, 1984).
Istilah psikosomatik sendiri
dikembangkan oleh Helen Flanders Dunbar pada sekitar tahun 1930-an yang antara
tahun 1930 sampai tahun 1940-an mempublikasikan sejumlah tulisan-tulisan
ilmiah. Buku-bukunya mengenai serangkaian perkembangan yang intensif dalam
bidang penelitian psikosomatik (Tamm, 1993).
Sayang, dalam sejarahnya, karena
tidak berhasil menciptakan teori-teori psikosomatik yang seragam, lebih-lebih
sejak model psikosomatik muncul secara simultan dalam berbagai tingkat
organisasi dan endapatkan pengetahuannya baik dari ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu
humaniora, istilah psikosomatik mengalami berbagai kesuliatan mendapatkan
penerimaan dalam ilmu medis dan dalam administrasi praktis perawatan pasien.
Banyak orang yang mengeluhkan tentang stres, ketakutan dan kesakitan, atau
menunjukkan simtom-simtom somatik yang menyebar, dengan sendirinya mendapat
pengobatan medis atau dilegitimasi sebagai dalam keadaan sakit (Corsini, 1984).
Eisenberg (Fava, 1992) bahkan telah mengidentifikasi beberapa halangan untuk
melakukan kerja samma yang luas antara tanggung jawab perawatan humanistik dan
secara psikologis kedalam praktek medis. Halangan-halangan berikut ialah: 1)
tanggung jawab secara psikologis mengakibatkan bertambahnya biaya dan itu
dilihat sebagai dapat menurunkan efisiens; 2) adanya skeptisisme mengenai
realita faktor-faktor psikososial pada riwayat patologis dan penyebab penyakit;
3) atribusi yang salah terhadap efek terapeutik (pengetahuan dokter yang
terbatas terhadap akibat kekuatan nonspesifik pada hubungan antara dokter dan
pasien); 4) kesulitan untuk mempelajari keterampilan-keterampilan yang baru;
dan 5) konteks sosial yang terdapat pada praktik medis sekarang ini.
Sekarang ini istilah psikosomatik
tidak digunakan lagi baik dalam DSM-IV dan ICD-10. Pada bagian Gambar klinis
dan petunjuk diagnosis klasifikasi gangguan mental dan behavioral dalam ICD-10
memberikan penjelasan bahwa istilah psikosomatik tidak digunakan sebab istilah
inin mungkin membawa implikasi bahwa faktor-faktor psikologis tidak berperan
pada timbulnya, jalannya dan keluaran dari penyakit yang lain yang tidak selalu
dapatt digambarkan. Sebagai gantinya, dalam ICD-10 menggunakan istilah seperti
somatoform, gangguan makan, disfungsi seksual, dan faktor-faktor psikologis
serta behavioral yang dihubungkan dengan gangguan atau penyakit yang
diklasifikasikan di mana saja, dimana gangguan psikosomatik biasanya mengambil
peranan pada gangguan tersebut (WHO, 1992).
D.
Teori-teori
Psikosomatis
Teori-teori psikosomatis snagat beragam.
Psikologi sendiri sekurangnya memiliki dua teori dasar untuk menjelaskan
gangguan psikosomatis ini.
Teori-teori psikosomatis formal
mula-mula dipengaruhi oleh gagasan Freudian yang menyatakan nahwa simtom-simtom
bisa merupakan ekspresi simnbolik dari konflik-konflik yang tidak disadari,
dorongan-dorongan dan harapan-harapan yang direpresi, dimana hal tersebut dapat
diketemukan dalam sejarah perkembangan individu. Teori-teori yang dipengaruhi
paham psikoanalisa ini dimasukkanke dalam teori-teori simtom-simbol, yang
menyatakan bahwa organ atau sistem yang terkena memiliki makna simbolis bagi
pasien (Lachman, 1972: Totman, 1982).
Masalah yang timbul berkaitan dengan
pendekatan psikosomatis ini secara umum didasarkan atas dua kesulitan, yaitu:
a. Definisi
dari proses seperti ketidaksadaran mengakibatkan teori-teori tersebut secara
apriori sulit didefinisikan dan dapat didemonstrasikan secara meyakinkan dalam
penelitian.
b. Proporsi
kunci pada kebanyakan teori-teori tersebut adalah bersifat dualistik secara
eksplisit maupun implisit berpegang pada pemikiran bahwa perasaan-perasan
menyebabkan kondisi fisiologis.
Sebagian besar kritik terhadap
pendekatan psikodinamis ini dapat diturunkan pada salah satu ataukedua poin
dasar tersebut diatas. Penelitian-penelitian yang dilakukan oleh sebagian besar
studi kasus gagal untuk menemukan kriteria bagi objektivitas ilmiah yang dapat
diaplikasikan sehingga akibatnya bahwa akhir tahun 1950-an dan awal tahun
1960-an minat pada formulasi psikodinamis berangsur menurun. Alasan utama
menurunnya minat pada tradisi psikoanalisis adalah tumbuhnya popularitas aliran
behaviorisme gaya Skinner.
Teori-teori behavioristik yang
menjelaskan gangguan psikosomatis pada umumnya kalau disederhanakan adalah
sebagai berikut:
Situasi
Stimulus > Reaksi Fisiologis > Gangguan Psikosomatis
Situasi-situasi stimulus, apakah
eksplisit atau implisit, menimbulkan sejumlah variasi pada konsisi internal,
meliputi aktivitas-aktivitas fisiologis yang dimengerti sebagai aspek-aspek
pokok pada tingkah laku emosional. Juka pola reaksi yang muncul (atau beberapa
bagian darinya) adalah bersifat intens dan berlangsung dalam jangka waktu yang
mencukupi, maka perubahan struktural maupun fisiologis yang menetap mungkin
akan timbul sebagai suatu konsekuensi langsung.
Umumnya penelitian-penelitian yang
dilakukan akan mengacu pada bagan tersebut diatas, yaitu berusaha mengukur
perubahan fisiologis yang terjadi pada tubuh, atau emosi yang timbul dari
situasi tertentu dan mengkaitkannya dengan gangguan psikosomatis yang terjadi.
E. Kaitan Gangguan Psikosomatik Dan
Kepribadian
Beberapa penelitian menunjukkan
ternyata gangguan psikosomatik berkaitan dengan kepribadian seseorang. Beberapa
temuan menunjukkan hubungan antara bentuk-bentuk gangguan psikosomatik tertentu
dengan gangguan-gangguan kepribadian tertentu pula, seperti dipaparkan berikut.
Sebagian besar ahli sependapat bahwa
kepribadian alexithymia berhubungan dengan meningkatnya factor resiko terkena
gangguan psikosomatik. Alexithymia merupakan suatu konsep untuk menggambarkan
kesulitan-kesulitan dalam mengidentifikasi dan mengomunikasikan perasaan,
kehidupan fantasi yang miskin dan suatu gaya kognitif yang berorientasi keluar
(Taylor, dkk, 1993). Fava dkk. (1995) menyatakan bahwa telah ditemukan
kepribadian alexithymia dalam jangka waktu yang lama daripada subjek-subjek
yang lain.
Sakit kepala merupakan salah satu
gangguan yang berhubungan dan dekat dengan simtom-simtom psikosomatik dan yang
paling umum ditemukan oleh beberapa penelitian (attanasio, dkk, 1984;Biondi,
dkk;1994;Tamminen dkk; 1990). Sakit kepala diketahui disebabkan oleh
masalah-masalah kepribadian. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kecemasan,
depresei, sifat obsesif komplusif dan neurotik memiliki hubungan dengan
serangan sakit kepala. Lebih jauh lagi dalam penelitian yang dilakukan oleh
Schaefer pada tahun 1994 menunjukkan bahwa ciri-ciri kepribadian “tipe
melankolik” berhubungan dengan pasien yang terkena gangguan migraine. Migraine
merupakan merupakan salah satu bentuk gangguan sakit kepala. Tipe melankolik
adalah struktur kepribadian yang berhubungan dengan “tipe melankolis” dari
Tellenbach yang sering ditemukan pada pasien yang mengalami gangguan depresi
unipolar. Orang dengan kepribadian tipe melankolis mempunyai kesadaran yang
terlalu sensitive yang bertujuan untuk
menghindari bahkan perasaaan bersalah yang paling kecil sekalipun. Dalam
hubungan yang lebih bersifat personal, tipe melankolis ini juga dicirikan oleh penghindaran
perasaan bersalah dan dengan bersamaan membuat bentuk persahabatan yang
menghindari semua argument dengan menjaga norma-norma dan konveksi yang
dianggap sebagai kebenaran.
Kaitan antara gangguan somatoform
dengan gangguan kepribadian dilaporkan oleh Bass dkk. (1995) dengan melakukan
studi dengan cara sistematis pada pasien-pasien dengan gangguan somatoform.
Mereka menemukan bahwa sebagian besar pasien dengan gangguan somatoform
kebanyakan juga didiagnosa memiliki gangguan kepribadian dari pada yang
menderita sakit mental lainnya, seperti yang dikodekan pada axis I dari DSM-IV.
Lebih jauh mereka mengatakan bahwa dua dari tiga pasien dengan gangguan
somatoform memenuhi kriteria untuk gangguan kepribadian.
Barsky (1995) mengungkapkan,
sebelumnya ada gagasan awal yang mengatakan bahwa gangguan somatoform
berhubungan dengan gangguan kepribadian anti sosial. Hasilnya meunjukkan bahwa
gangguan kepribadian merupakan hal yang jauh lebih umum daripada gangguan
kepribadian antisosial dan histerionik pada pasien dengan gangguan somatoform.
Barsky kemudian mengumpulkan hasil sejumlah penelitian yang meunjukkan
hasil-hasil tersebut antara lain penelitian yang dilakukan oleh Smith pada
tahun 1991 dengan menggunakan populasi psikiatri.
Barsky menyarankan bahwa lebih baik
menggunakan penelitian perkembangan dan life-span untuk gangguan somatoform
daripada penelitian deskriptif dan fenomenologi. Argument yang dikemukakannya
adalah bahwa di samping penelitian deskriptif dan fenomenologi mempunyai
pengukuran objektif yang kuat dan definisi istilah akurat, pengkuantifikasian
yang hati-hati, alat ukur yang enunjukkan kekuatan psikometrik dan kelompok
pembanding yang baik, penelitian deskriptif dan fenomenologi juga memiliki
kelemahan kelemahan terutama kurang dapar membantu dalam mengerti natur dari
gangguan ini dalam meneliti mekanisme patogenik dan dalam mempelajari
variabel-variabel yang mempunyai implikasi teraupetik langsung. Dengan kata
lain penelitian deskriptif dan fenomenologi memiliki keterbatasan pada kegunaan
klinis.
Sejumlah penelitian mengenai
gangguan perut khususnya usus iritabel yang dilaporkan oleh Kellner (1994)
menemukan bahwa pasien dengan sindrom usus iritabel yang mencari pengobatan
medis mempunyai skor distress yang lebih tinggi pada skala distress dan
pengukuran inventori psikologi yang psikopatologi disbanding pasien yang
mengalami penyakit perut organik asli dan kontrol kelompok normal.
Penelitian yang dilakukan oleh
Warwick (1990) menunjukkan bahwa pasiepasien yang mengalami gangguan hipokondriasasi
berbeda dari pasien-pasien psikiatrik yang mengalami kecemasan dan depresei
dengan laporan mengalami kekuatan yang berlebihan dan keyakina keyakinan yang
keliru mengenai penyakit, perhatian yang lebih besar pada sensasi sensasi
ketubuhan, ketakutan akan kematian yang sering, dan ketidak percayaan yang
lebih besar pada pendapat dokter meskipun mereka lebih banyak mengunjungi
tempat-tempat perawatan medis dibanding yang dilakukan oleh pasien yang lain
dalam penelitian tersebut.
Studi yang dilakukan oleh Borkovec
(1982) menyimpulkan bahwa pasien pasien dengan gangguan insomnia yang dites
dengan menggunakan MMPI ternyata lebih sering mempunyai profil patologis dengan
ciri-ciri gambaran klinis seetengah depresi.
Eratnya kaitan antara psikosomatik dengan
kepribadian dikuatkan dengan pendapat Halliday (Fava, 1992)yang memasukan
kepribadian kedalam salah satu dari enam ciri
suatu gangguan dikenakan ke dalam kelompok psikosomatik. 1. Emosi
sebagai factor pencetus 2. Tipe kepribadian 3. Rasio seks 4. Berhubungan dengan
gejala-gejala psiosomatik lainnya 5. Sejarah keluarga 6. Tahap-tahap
kemunculannya.
F.
Prevalensi
Berbagai Gangguan Psikosomatik Dan Upaya Penanganannya
Alexander pada tahun 1950 menuliskan
tujuh penyakit psikosomati yang akhirmya dikenal sebagai psikosomatik klasik.
Ketujuh penyakit psikosomatik tersebut adalah: hipertensi esensial, tukak
peptik, rematik, arthtitis, hipertiroid, atsma bronkial, radang usus besar, dan
neurodermatitis. Berikut ini akan dipaparkan beberapa penelitian berkaitan
dengan prevalensi beberapa gangguan psikosomatik yang pernah dilakukan di luar
negeri.
Sakit kepala. Menurut Wiliamson dkk
sebagian besar penelitian mengenai sakit kepala mengelompokkan sakit kepala
kedalam dua kelompok, yaitu migraine dan nonmigrain.sebagai contoh, di Amerika
seluruh sampel penderita sakit kepala 85% pria dan 72% wanita mengaku tidak
pernah mengkonsultasi perihal sakit kepala mereka ke dokter. Kejadian sakit
kepala tidak secara merata pada semua kelompok umur.
Gangguan perut/Gastroinstestinal.
Para ahli gastroenterologis percaya bahwa gangguan-gangguan tersebut dipicu dan
diperparah oleh stress psikologis. Latimer (1981) menambahkan bahwa prevalensi
sindroma usus iritabel pada populasi umum berkisar antara 10%-35% dan antara
50%-70% dari semua pasien dengan keluhan sakit pencernaan.
Sindroma Urethral. Kellner (1994)
menyebutkan sekitar setengah dari wanita yang datang dengan sindroma urethral
ternyata tidak menunjukkan bukti terkena infeksi saluran kencing. Hunt (1995)
menyatakan bhwa gangguan ini megenai sekitar 20% dari populasi wanita yang
berusia antara 20-65 tahun. Yang lainnya menyatakan bahwa sekitar 20% pasien
yang datang kebagian urologi mungkin mempunyai gangguan ini.
Sindroma Nyeri Kronik/Chronic Pain
Syndrome. Keefe (1982) menyatakan bahwa nyeri kronik merupakan prevalensi yang
paling banyak dan merupakan masalah paling sulit ditangani oleh dokter.
Sindroma Kelelahan Kronik.
Mmerupakan gangguan yang heterogen yang lebih sering muncul pada wanita, sering
sampai berlarut-larut tetapi biasanya jarang yang sampai fatal. Kelelahan adlah
keluhan yang umum pada pasien-pasien primary care dan kelelahan kronik
dihubungkan dengan banyak keadaan keadaan yang sakit secara medis dan gangguan
gangguan psikiatrik, khususnya kecemasan dan depresi. Menurut Keefe prevalensi
sindroma kelelahan kronik berkisar antara 20% sampai lebih dari 40%.
Penanganan berbagai gangguan
psikosomatik tersebut secara umu di
negara-negara barat menggunakan dua pendekatan utama. Pendekatan yang pertama
berdasarkan pada pengggunaan obat-obatan dan yang lainnya menggunakan metode
yang tidak menggunakan obat-obatan. Namun banyak juga yang menggunakan
kombinasi dari keduanya, karena biasanya menunjukkan hasil yang lebih
memuaskan.
Jhonston (1991) menyebutkan bahwa
secara umum ada tiga macam terapi behavioral yang secara umum diaplikasikan
pada kesehatan fisik, yaitu: biofeedback, relaksasi, dan intervensi kognitif
behavioral. Didasarkan pada beberapa penelitian, disimpulkan bahwa biofeedback
secara umum kurang efektif digunakan untuk menangani kesehatan fisik. Latihan
relaksasi biasanya efektif untuk hipertensi primer dan sakit kepala.
Ada baiknya mulai dilakuakn
uoaya-upaya pemberian terapi behavioral kepada pasien-pasien yang diketahui
mengalami gangguan psikosomatik. Beberapa bentuk terapi behavioral ini telah
terbukti relative sama efektifnya dengan terapi obat dan bahkan dalam jangka
panjang memebrikan efek samping yang justru positif pada pasien yang
bersangkutan. Untuk itu kerja sama antara dokter dan psikologis (klinis) dalam
bidang penanganan gangguan psikosomatik ini perlu segera diwujudkan.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Gangguan psikosomatik merupakan bentuk
gangguan kesehatan yang umum dijumpai di masyarakat, tapi masih sedikit yang
menyadari bahwa penyebabnya adalah masalah psikologis. Bahkan tidak banyak
penderita yang berusaha mengguanakan terapi psikologis untuk menyembuhkan
penyakit psikosomatik.
Penyakit-penyakit psikosomatis biasanya
berkaitan dengan kerja saraf otonom. Faktor budaya serta kepribadian juga
memegang peranan terhadap jenis dan gejala psikosomatis yang dimunculkan.
Upaya menangani gangguan psikosomatis
secara integral perlu mulai dikembangkan. Pendekatan medis saja tidaklah cukup
bagi kesejahteraan pasien tertama dengan gangguan psikosomatis ini. apalagi
efek jangka panjang dari medikasi yang berakibat merugikan sering kali tidak
diperkirakan sebelumnya. Sementara itu terapi psikologi perlu dikembangkan
untuk juga bukan hanya melulu mengatasi gejala-gejala psikis saja, melainkan diperluas
untuk menyentuh aspek fisik.
B.
Saran
Agar
seseorang tersebut tidak mudah mengalami stres atau mengalami gangguan
psikosomatik, maka diperlukannya keseimbangan antara psikologisnya. Apabila
psikisnya baik, maka seseorang tersebut tidak mudah mengalami stres.
DAFTAR
PUSTAKA
Siswanto.
2006. KESEHATAN MENTAL KONSEP, CAKUPAN, DAN
PERKEMBANGANNYA.
Yogyakarta: C.V ANDI OFFSET.
No comments:
Post a Comment
Berkomentarlah dengan bijak kawan :)